Thursday, September 29, 2005

--Kisah Menyentuh--Just let me know--

Kisah yang semoga bisa semakin memacu semangat kita untuk berkarya. Selamanya !

From: Helvy Tiana Rosa [mailto:helvy_tr@yahoo.com]Sent: Tuesday, September

Usianya lebih muda seminggu saja dari saya. Namun guratan yang lahir dari ketertekanan, tampak lebih banyak menghiasi wajah ramahnya. Swastika. Nama itu mengingatkan saya pada entah siapa, entah apa. Tapi kini akan selalu melemparkan saya pada sosoknya. Swastika.
Senja yang muram di Hong Kong. Kami hanya berdua di kamar 901 di sebuah Guest House di kawasan Causewaybay. Ia tunjukkan karya-karyanya. Hampir semua ditulis tangan. “Saya senang bergabung dengan FLP. Di sini saya menemukan lagi semangat untuk menulis,” tuturnya pelan.
“Karyamu bagus,” balas saya. “Kalau tidak mana mungkin menjadi Juara I pada sayembara se-Hong Kong kemarin. Selamat ya! Kamu harus terus menulis!” kata saya lagi.

Ya, saya, Taufiq Ismail dan dua pengurus FLP HK yang juga telah menulis buku, menjadi juri sayembara cerpen untuk buruh migran se-Hong Kong. Ia meraih hadiah pertama.
Apakah ia adalah apa yang ia tulis? Kekelaman, penderitaan, jalan-jalan berliku dalam labirin itu?
Saya tertohok mendengar kisahnya dahulu sebelum ke Hong Kong. Keperihan bercampur misteri, kekerasan hati. Jalinan paling menarik dari sebuah novel. Itulah hidupnya. Dan kini ia bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga di sebuah keluarga besar di Hong Kong. “Sudah hampir enam tahun,” katanya lirih.
“Betah?”
Ia tersenyum kecut. “Dibetahin saja, Mbak”
Lalu mengalirlah cerita itu, dan saya tenggelam dalam tatap kosongnya. Ia bilang majikannya hampir setiap hari memaki, meski ia tak melakukan kesalahan. Jatah liburnya kerap tak bisa digunakan, karena ia selalu disuruh berkeliling membersihkan rumah saudara-saudara majikannya yang lain dengan upah tambahan tak seberapa. Soal waktu untuk menulis? Jangan ditanya. Ketika orang rumah sudah tidur, tak boleh ada lampu yang masih menyala.
“Kamu tidur di mana?”
“Di ruang tamu atau dapur, Mbak. Saya tak punya kamar. Makanya saya tak bisa menyimpan apa pun. Bhobo (nenek) selalu memeriksa tas saya setiap hari. Kadang saat saya belanja, barang-barang yang mereka anggap tidak diperlukan seorang pembantu, mereka ambil dan buang entah kemana.”
“O ya? Apa misalnya?”
“Disket. Waktu itu hari terakhir lomba. Naskah saya sudah saya cicil mengetik saat liburan di perpustakaan dan diketikkan teman…,tapi waktu saya mau kirim, disket itu sudah mereka ambil….”
Saya menarik napas tak panjang.
“Dasih teman saya membantu mengetikkan kembali dan mengirimkan. Hampir saya tidak ikut lomba,” katanya.
Saya baru akan bertanya…ketika ia berkata: “Dan piala itu….”
“Kenapa dengan pialamu?”
“Saya tak mungkin bisa membawanya ke rumah, meski hanya disimpan dalam tas. Piala bukanlah benda yang dibutuhkan seorang pembantu, mbak. Mereka tak suka. Mereka akan membuangnya….”
Nyeri meremas batin saya.
“Jadi sudah saya titipkan piala itu di rumah teman,” katanya dengan mata kaca. “Ini pertama kali saya menjuarai lomba!”
Hening sebentar. Saya tarik lagi napas tak panjang. Masih terngiang di telinga saya, ketika ia berkata tahun 1992 cepennya pernah dimuat di Koran Kompas! Ia berbakat! Saya tahu saat membaca dua cerpennya yang disertakan dalam sayembara. Ah, mungkin pun ia telah memulai semua lebih dulu dari saya….
Tiba-tiba…. “Ini tulisan-tulisan saya. Semoga pantas dibaca oleh Mbak. Maukah mbak membacanya?”
Ia berikan setumpuk kertas dengan tulisan tangan pada saya.
Segera saya genggam tangannya. “Saya merasa sangat terhormat.”
Ia tersenyum lama.
“Teruslah menulis!” ujar saya. “Bahkan peristiwa yang paling badai tak boleh membuatmu berhenti menulis! Saya akan selalu menunggu!”
Senja semakin muram. Seperti Cinderella yang disentakkan waktu, ia bergegas untuk kembali. “Saya harus segera pulang, Mbak. Mereka akan marah saat saya pulang, meski liburan. Dan akan sangat marah bila saya terlambat….”
Saya memeluknya. Setetes airmata jatuh. Saya tahu ini langkah awal seorang Swastika Mahartika. Kelak kalian akan mengenalnya bukan sebagai seorang pembantu rumah tangga. Tapi Swastika Mahartika, seorang penulis yang cerlang….
Angin meliuk kencang. Hujan mencakar. Taifun tiga di Hong Kong. Namun badai dalam diri Swastika dan teman-teman senasibnya yang lain akan menjadi energi baru dalam kisah yang akan mereka pahatkan pada dunia. Semoga! (from Helvy Tiana Rosa ; sent tuesday ; helvy_tr@yahoo.com)

"Jujur, kalau membaca kisah ini, kabut di mata saya akan turun...(-_-) Saya tertohok juga ; keberhasilan itu memang memerlukan tekad (^_^)" Hemm, jadi ingat petikan tulisan...(tak tulis aja ya,)==> "Andai digantung tinggi,dibakar hangus,direndam basah,akan kuteruskan jua perjuangan ini...meskipun patah dayung di tangan,dengan jari kukayuh jua..."

Tuesday, September 27, 2005

--Tahukah diriku???--

...Inginku menjadi seorang penyair...yang menarikan pena di dada sahifah
Inginku menjadi seorang pelukis...yang bisa menterjemah seraut wajah...

Memahami arti sebenarnya sebuah perjuangan amat sukar...
Menjalani satu perjuangan dengan tekun, gigih dan sabar lebih sukar...
Namun menjaga kesinambungan dan memastikan istiqomah dalam sebuah perjuangan hingga ke akhir hayat adalah jauh lebih berat...
Memastikan tidak tersungkur hingga ke denyut nadi nafas yang terakhir...jauh lebih berat dan sukar...
(mutiara amaly)

Camkan itu wahai diriku...kau hanyalah manusia...kau bermuaranya khilaf
Maka sibuklah untuk mencari khilaf-khilaf yang ada pada dirimu
Lalu...hilangkan itu dari jiwamu...pikiranmu...kelakuanmu...
Mohon ampunlah hanya kepada-Nya...